Pahlawan Papua yang Terkenal dan Perjuangan Rakyat Papua Menjadi Bagian dari Indonesia

Anda mungkin memperhatikan bahwa banyak wajah-wajah baru yang tercetak di uang kertas rupiah baru yang dirilis oleh Bank Indonesia pada tahun 2016. Namun, sebagian masyarakat Indonesia mungkin belum pernah mendengar nama atau melihat wajah para tokoh tersebut meski telah dilantik sebagai pahlawan nasional.


Beberapa tokoh yang kurang dikenal antara lain Dr. KH Idham Chalid yang wajahnya terlihat di uang kertas Rp5.000 dan Frans Kaisiepo di uang kertas Rp10.000. Dr. KH Idham Chalid adalah seorang tokoh politik yang menonjol pada era 1950-1960, sementara orang di Papua mungkin mengenal Frans Kaisiepo dari Bandara Internasional Papua yang dinamai menurut namanya.

Frans Kaisiepo dalam uang 10.000 rupiah

Tapi siapa sebenarnya Frans Kaisiepo?

Frans Kaisiepo adalah pahlawan Papua sejati. Ia lahir di Wardo, Biak, pada 10 Oktober 1921 dan meninggal pada 10 April 1979. Ialah yang mengusulkan nama 'Irian' untuk separuh Pulau Papua yang merupakan milik Negara Kesatuan Republik Indonesia. 'Irian' berarti tanah panas dalam bahasa Biak. Ini mewakili semangat orang Papua untuk tidak berkompromi dengan Belanda pada masa penjajahan Belanda.


Pada bulan Juli 1946, Belanda mengadakan konferensi di Malino, Sulawesi, sebagai upaya mereka untuk mendirikan negara federal di daerah-daerah baru yang diserahkan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Negara-negara bagian itu kemudian disebut Negara Indonesia Timur atau Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam konferensi ini, Frans Kaisiepo terlibat sebagai perwakilan dari Papua. Dia menyatakan sikap tegas terhadap Belanda dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang Papua berdiri dengan republik Indonesia.

Baca juga tokoh Papua lain: Nicolaas Jouwe

Saat itu pula ia mengusulkan nama 'Irian' untuk menyebut wilayah yang secara historis dan politik merupakan bagian integral dari kepulauan Indonesia (Hindia Belanda). Jelas, pernyataan Frans langsung ditolak Belanda dan sejak saat itu dia dijauhkan dari agenda pembahasan Papua yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda.


Pada tahun 1940-an, Frans Kaisiepo pernah menjadi Bupati Warsa, Biak Utara dan selama ini pernah mengusulkan agar Irian (Papua) bergabung dengan wilayah Karesidenan Sulawesi Utara. Beberapa waktu kemudian, ia dipenjarakan dan diasingkan oleh Belanda. Pada tahun 1961, Frans mendirikan partai politik Irian yang menuntut segera penyatuan Irian (Papua) ke dalam Republik Indonesia.



Tuntutan kuat dari berbagai pihak agar Irian (Papua) harus segera diserahkan kepada pemerintah Indonesia menjadi alasan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Belanda meminta Frans Kaisiepo menjadi delegasi Belanda atau negara bagian BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), tetapi dia menolak tawaran itu.


Menurut perjanjian itu, Belanda setuju bahwa kedaulatan politik atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda akan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali West New Guinea (Irian Barat). Republik baru yang disebut Uni Belanda-Indonesia ini bekerja untuk mencapai kepentingan bersama. Namun, Belanda menunda penyerahan Papua ke Indonesia hingga setahun kemudian dan tetap berusaha mempertahankan penjajahannya di Papua.


Selain Frans Kaisiepo, Johannes Abraham Dimara adalah pahlawan Papua lainnya yang memperjuangkan persatuan Papua dengan NKRI. Setelah KMB, ia bergabung dengan Batalyon Pattimura APRIS (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Serikat) dan berpartisipasi dalam operasi militer untuk menghancurkan Republik Maluku Selatan atau Republik Maluku Selatan (RMS). J.A. Dimara ikut serta dalam pembebasan Irian Barat dengan menjadi anggota Organisasi Pembebasan Irian (OPI).


Pada pertengahan Oktober 1954, J.A. Dimara memprakarsai infiltrasi terhadap Belanda yang kemudian mengakibatkan pertempuran antara dua pihak. Sebelas tentara OPI tewas. Dimara dan pasukannya dipenjarakan oleh Belanda hingga tahun 1961. Setelah keluar, ia diangkat sebagai anggota delegasi Indonesia untuk membahas masalah Irian Barat di forum PBB.


Pada tanggal 15 Agustus 1962, Perjanjian New York di mana J.A. Dimara ditunjuk sebagai delegasi Indonesia, mencapai keputusan yang pada akhirnya mengakhiri konfrontasi militer antara Indonesia dan Belanda.


Pada tahun-tahun berikutnya, beberapa konfrontasi masih terjadi di Papua dan bekas Papua Barat. Hingga akhirnya Penetapan Pendapat Rakyat (Pepera) dilaksanakan pada tanggal 4 Agustus 1969. Pada masa itu Frans Kaisiepo menjabat sebagai Gubernur Papua. Berdasarkan referendum, rakyat Papua bertekad untuk bergabung dengan Indonesia. Melalui Resolusi No.2504 tanggal 19 November 1969, Papua (termasuk sekarang-Papua Barat) secara resmi dinyatakan sebagai bagian dari Indonesia.


Pahlawan Papua lainnya adalah Marthen Indey dan Silas Papare. Silas Papare adalah pemimpin Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Sementara itu, Marthen Indey ikut bergerilya saat membantu tentara Indonesia yang mendarat di Papua pada masa gerakan Tri Komando Rakyat (Trikora). Keduanya memperjuangkan integrasi Papua dengan NKRI karena diyakini bahwa Papua selalu menjadi bagian dari Indonesia.



Baca juga: Koteka


Komentar